Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Etnosains


A.  Pengertian Etnosains
Etnosains sendiri oleh Sturtevant didefinisikan sebagai suatu “system of knowledge and cognition typical of given cultures”. Kehadiran etnosains, menurut Spradley (2001) memang akan memberi angin segar pada penelitian budaya. Meskipun hal demikian bukan hal yang baru, karena sebelumnya telah mengenal verstehen (pemahaman), namun tetap memberi wajah baru bagi penelitian budaya. Oleh karena, memang banyak peneliti budaya yang secara sistematis memanfaatkan kajian etnosains. Memang belum ada kesamaan pendapat mengenai istilah etnosains dikalangan peneliti budaya. Istilah ini ada yang menyebut cognitif anthropology, ethnographic semantics, dan descriptive semantics.
Berbagai istilah ini muncul karena masing-masing ahli memberikan penekanan berbeda, namun hakikatnya adalah ingin mencari tingkat ilmiah kajian budaya. Setiap masyarakat mengalami pertumbuhan dan perkembangan akibat kebutuhan yang berubah dari zaman ke zaman. Dalam perkembangan itu terjadi berbagai proses pemecahan masalah demi kehidupan yang lebih baik dan sejahtera melalui teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tak lepas dari dampak positif dan negative. Di satu sisi penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan berbagai inovasi untuk meninkatkan kesejahteran hidup manusia, namun di sisi lainpenerapan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah mengeksploitasi kekayaan alam untuk mengejar produksi tanpa mempertimbangkan kelangsungan hidup jangka panjang seperti yang terjadi pada dampak rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan berbagai bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir, kebakaran hutan, polusi udara yang kesemuanya hanya menghasilkan kesengsaraan rakyat banyak. Lingkungan, baik fisik maupun sosialbudaya dapat memberikan kontribusi tertentu pada pengalaman belajar siswa. Pengalaman tersebut dapat berupa pola pikir (ranah kognitif), pola sikap (ranah afektif), maupun pola perilaku (ranah psikomotorik).
Snively & Corsiglia (2001) menyatakan bahwa sains asli berkaitan dengan pengetahuan sains yang diperolehnya melalui budaya oral di tempat yang sudah lama ditempatinya. Pengetahuan ini sudah merupakan bagian budaya mereka yang diperoleh dari pandangannya tentang alam semesta yang relatif diyakini oleh komunitas masyarakat tersebut. Namun, sampai saat ini sains asli yang merupakan subbudaya dari kelompok masyarakat, kurang disadari dan kurang mendapat perhatian dari para pakar pendidikan sains maupun guru-guru sains di Indonesia.

B. Etnosains dalam pembelajaran IPA
Solomon (Baker, et al. 1995) menyatakan konsep-konsep sains yang dikembangkan di sekolah tidak berjalan mulus karena dipengaruhi kuat oleh faktor-faktor sosial, khususnya pengetahuan intuitif tentang dunia lingkungannya (life-word). Pengetahuan tersebut dibangun selama siswa masih kanak-kanak yang disosialisasikan dan dienkulturisasi oleh orang lain
(seperti orang tua dan teman sebaya). Baker, et al. (1995) menyatakan bahwa jika pembelajaran sains di sekolah tidak memperhatikan budaya anak, maka konsekuensinya siswa akan menolak atau menerima hanya sebagian konsep-konsep sains yang dikembangkan dalam pcmbelajaran. Stanley & Brickhouse (2001) menyarankan agar pembelajaran sains di
sekolah menyeimbangkan antara sains Barat (sains normal, sains yang dipelajari dalam kelas) dengan sains asli (sains tradisional) dengan menggunakan pendekatan lintas budaya (cross-culture). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Cobern dan Aikenhead (1996), yang menyatakan jika subkultur sains modern yang diajarkan di sekolah harmonis dengan subkultur kehidupan sehari-hari siswa, pengajaran sains akan berkecenderungan memperkuat pandangan siswa tentang alam semesta, dan hasilnya adalah enculturation. Jika enculturation terjadi, maka berpikir ilmiah siswa tentang kehidupan sehari-hari akanmeningkat. Sebaliknya, jika subkultur sains yang diajarkan di sekolah berbeda atau bahkan bertentangan dengan subkultur keseharian siswa tentang alam semesta, seperti yang terjadi pada kebanyakan siswa.
Lucas (1998) berpendapat bahwa salah satu tujuan utama pendidikan sains di rnasyarakat timur (non-Western) seharusnya membandingkan pandangan tradisional dan pandangan ilmiah tentang manusia dan hakekatnya, serta bagaimana cara berpikirnya, dan juga mengklarifikasi kesesuaian dan perbedaan antara kedua pandangan tersebut. Lebih lanjut, Jegede & Okebukola (1989) menyatakan, bahwa memadukan sains asli siswa (sains sosial-budaya) dengan pelajaran sains di sekolah ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini diakuinya, jika dalam proses belajar mengajar sains, keyakinan atau pandangan tradisional tentang alam semesta tidak dimasukkan, maka konflik yang ada pada diri siswa tentang perbedaan pandangan tradisional dan pandangan ilmiah akan terus dibawa oleh siswa dan akan berakibat pada pemahaman siswa terhadap konsep ilmiah menjadi kurang bermakna.
Pembelajaran sains yang mampu menjembatani perpaduan antara budaya siswa dengan budaya ilmiah di sekolah’ akan dapat mengefektifkan proses belajar siswa. Siswa akan belajar secara formal untuk memahami lingkungannya dengan berbagai permasalahan yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, akan terjadi fenomenologi didaktis (didactical phenomenology) yang mengandung arti bahwadalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi lain dalam sains (fisika), para siswa perlu bertolak dari masalah-masalah (fenomena-fenomena) kontekstual, yaitu masalah-masalah dalam dunia nyata, atau setidak-tidaknya dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah-masalah yang nyata. Menurut Devita,  Dalam studi etnosains Budaya berbeda yang dimiliki akan mempengaruhi pola pikir masyarakat dan melahirkan pola tindakan yang berbeda pula dalam mempersepsikan lingkungan tempat tinggal mereka. Dengan kata lain hubungan antara manusia, kebudayaan, dan lingkungan erat sekali.


DAFTAR PUSTAKA

Baker, D. & Taylor (1995). The effect of culture on the learning of science in nonwestern countries: the result of and integrated research review. Intenational Journal of Science Education.
Devita Elfira. 2013. Strategi Adaptasi Transmigran Jawa Di Sungai Beremas (Studi Etnosains Sistem Pengetahuan Bertahan Hidup). Jurnal Sosiologi. Padang: Universitas Negeri Padang
Lucas,B.K (1998). Some Coutionary Notes About Employing the Socio-Cultural Environmental Scale in Different Cultural Contexts. Journal of Research and Mathematics Education in SE Asia.
Snively,G& Corsiglia. (2001). Discovering Indigenous Science: Implications for Science Education. Science Education.
Spradley, L.P. 2001, The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart, and Wiston. Stanley,W.B& N.W. Brickhouse. (2001). The Multicultural Question Revisited. Science Education
Sturtevan, W.C. 1964. Studies in Ethnoscience dalam Transcultural Studies in Cognition. American Anthropologies

Post a Comment for "Etnosains"